Lasem

Unveiling Lasem

2 min read

Setelah bertahun-tahun lamanya Lasem hanya menjadi wacana destinasi, akhirnya kesampaian juga kami menyambangi kecamatan di Rembang, Jawa Tengah ini. Perjalanan darat ditempuh selama hampir 3,5 jam dari Semarang. Sepanjang jalan, kami menjumpai begitu banyak gudang garam di sisi kiri jalan yang memang tak jauh dari laut. Bahkan, ada salah satu spot yang diduga merupakan gambar yang akhirnya diabadikan sebagai gambar logo jenama rokok dengan nama sama.

Ketika masih di Kota Rempah, kami berhenti dulu di sebuah kedai untuk menyantap sate khas kawasan ini. Sate Srepeh namanya. Sate dada ayam, yang disiram saus santan berbumbu. Encer, gurih, legit.

Kami tiba di Lasem ketika matahari sudah terbenam. Masjid Jami’ Lasem jadi perhatian pertama kami malam itu. Betapa tidak, masjid yang diduga berusia hampir dua ratus tahun ini memang begitu megah. Salah satu cagar budaya ini pula telah menjadi destinasi wisata religi.

Memasuki kawasan Pecinan di Lasem, bangunan-bangunan tua berjejer rapat. Sebagian tampak masih apa adanya, sebagian tampak terbengkalai, dan sebagian tampil mentereng karena dijadikan tempat usaha. Beberapa bangunan bisa dikunjungi, dan kita dapat melihat koleksi-koleksi peninggalan mereka. Sebut saja Rumah Oei, Lawang Ombo, atau Nyah Lasem. Foto-foto hitam putih, bahkan sebagian sudah pudar direnggut usia, menceritakan serpihan demi serpihan kehidupan di masa lampau. Lawang Ombo—rumah yang dulunya pernah menjadi jalur distribusi opium, masih memiliki lubang rahasia dengan ragam misteri di dalamnya.

Pesona klenteng Tjoe An Kiong yang juga kami sambangi, juga luar biasa. Dibangun pada tahun 1544 dan sempat direnovasi di tahun 1838. Seluruh detail yang melekat pada bangunan tua nan megah itu membuat kami tak berhenti berdecak kagum. Tentu, undangan untuk merayakan Cap Go Meh juga tak kami lewatkan. Menyantap lontong cap go meh dan berbaur di antara masyarakat pada malam itu jadi salah satu momen yang memorable.

Kami sempat menyambangi beberapa rumah penghasil batik. Bahkan, secara tak sengaja, kami pula menemukan rumah yang memproduksi minuman soda botolan! Perjalanan kali ini tergolong singkat, tapi banyak tempat yang kami singgahi. Beruntunglah kami bisa ikut tester trip-nya Pelangi Benua. Ini merupakan perjalanan dengan itinerary yang amat fleksibel. Karena, sesungguhnya, semua peserta ini ceritanya mengikuti Mbak Beby Vinny (co-founder Pelangi Benua) melakukan perjalanan ke sana untuk merancang signature trip mereka berikutnya. Sejumlah bangunan vintage milik pribadi pasti tidak bisa sembarangan diakses kalau saat itu kami tak datang bersama mereka.

Fotografer Reza Fauzi sendiri menganggap Lasem ini seru karena terdapat banyak elemen warna merah dan turunannya di sana. Belum lagi masih banyaknya rumah dengan arsitektur Tionghoa yang masih asli dan terawat, “Keren banget! Senang melihat detail arsitektur rumah vintage. Jadi bisa melihat bukti sejarah secara langsung.”

Kunjungan ke Nyah Lasem begitu berkesan bagi kami karena selain menyajikan sejumlah masakan khas Lasem, ada beberapa ruang yang menampilkan koleksi korespondensi di masa lampau, ragam batik buatan Lasem, pula nama-nama perempuan yang dikenal sebagai juru masak terbaik di sana pada masanya. Walau dikemas dengan sederhana, tapi pengumpulan informasinya tersaji apik. Sempat pula dapat kesempatan melihat buku resep tulisan tangan koleksi mereka yang tak dipajang untuk umum. Kece!

O ya, selain sate srepeh, kami juga sempat mampir ke salah satu warung di Tuyuhan untuk menyantap lontong tuyuhan. Lontong berwujud kerucut agak pipih, disiram opor ayam encer. Lokasi kedua tempat santap ini tidak tepat di Lasem, tapi jarak tempuhnya tergolong pendek. Di Lasem-nya sendiri, kami sempat sarapan di Pasar Lasem. Ada sayur petis yang direkomendasikan oleh Mas Pop — local guide kami. Ade Putri pun menemukan bahwa petis yang digunakan di sini merupakan petis dari ikan dengan profil rasa asin.

Ah, jelas harus kembali ke tempat ini. Masih terlalu banyak hal yang harus kami ubek-ubek di sini.